Rabu, 29 April 2009

buku harian

aku

penantian

lama sekali aku menunggu cinta yang telah pergi jauh dari ku.............
entah kapan kau akan kembali ke pangkuan ku..............
wahai cintaku pujaan hati ku.........

Kamis, 15 Januari 2009

SEJARAH LEBAK: KACA SPION YANG RETAK
Oleh Firman Venayaksa*)

Identitas Buku:
Judul : Sejarah Kabupaten Lebak
Penulis : Nina Lubis, dkk
Tebal buku : xx + 383 hlm
Penerbit : Pemda Lebak
Kesadaran untuk menggali latar belakang wilayah tempat berpijak adalah sebuah keniscayaan yang tak bisa dihindari. Kehadiran Indonesia sebagai sebuah nation agaknya tak bisa lepas dari jejak masa lampau guna menyatukan persepsi yang berkembang. Begitu juga dengan kehadiran propinsi Banten. Kita menengok dan menggunakan kerangka sejarah untuk merekonstruksi sebuah wilayah kebantenan dan meyakinkan kepada siapa saja --dengan menggali kembali kabel-kabel sejarah yang mulai terputus dan berkarat--bahwa kita memang harus lepas dari propinsi Jawa Barat.

Sejarah dalam konteks di atas lebih mengedepankan pada fungsi politik. Sementara fungsi esensial yang paling dalam dari sejarah adalah menjadikan masa lampau sebagai kaca spion untuk mengintip masa depan sehingga kita menjadi tak lagi gamang dalam menentukan sikap dan mengidentifikasi keberadaan. Fungsi ini diimani juga oleh kabupaten Lebak dengan membuat sebuah buku “Sejarah Kabupaten Lebak” (Nopember, 2006) dengan menyewa pakar sejarah dari Pusat Penelitian Kemasyarakatan dan Kebudayaan, Lembaga Penelitian Universitas Padjajaran yang dimotori oleh Prof. Nina Lubis.

Lebak sebagai sebuah kabupaten yang tengah berkembang mulai memikirkan juga kegunaan buku sebagai artefak yang maha penting, sebagai media untuk berkomunikasi antara masa kini dan masa akan datang. Dengan hadirnya buku-buku yang mengupas tentang Lebak, setidaknya kita bisa menyusuri sungai sejarah kita sendiri sehingga ke depan masyarakat Lebak tidak buram dengan masa lalunya. Buku sebagai basis cakrawala berpikir merupakan jembatan untuk mentrnsformasi kebodohan menuju arah pengetahuan. Pada tahun 2004, Lebak mulai intensif meluncurkan buku, dimulai dengan “Lebak dalam Arus Perubahan: Kado Ulang Tahun ke-176 Kabupaten Lebak”, yang disusul dengan buku “177 Kabupaten Lebak: Negeri yang sedang Bersolek” (2005), dan pada akhir tahun 2006, Lebak kembali meluncurkan sebuah buku yang diberi judul “Minangkala kabupaten Lebak.” Semua buku tersebut digawangi oleh Agus Sutisna, Ketua LPPM Latansa Mashiro. Kendati hanya meluncurkan 1 buku dalam setahun, toh perjuangan menuju dunia literasi sudah dimulai. Tinggal bagaimana caranya supaya peluncuran buku-buku yang ada tak hanya mengacu pada ranah seremonial, tapi lebih menunjukkan kualitas dan kuantitasnya.

Rupanya kabupaten Lebak tak hanya puas dengan buku-buku yang isinya sekadar bunga rampai dan meramu opini publik belaka. Pada waktu yang tak jauh berselang, buku “Sejarah Kabupaten Lebak” diluncurkan. Di dalam prolog buku ini dituliskan secara tegas bahwa masa lalu adalah lautan tak bertepi, sejarahlah yang menjadikannya bertepi, berbatas. Namun perlu juga kiranya kita bertanya ulang mengenai pernyataan ini. Siapakah yang menentukan tepi itu? Apakah rumusannya sehingga tatanan sejarah menjadi jelas batasnya?
Buku ini terdiri atas tiga bagian. Bagian pertama dimulai dengan masa prasejarah-masa Hindu Budha. Pada bagian ini, tim peneliti menukilkan hasil temuannya berupa peninggalan-peninggalan dalam bentuk altar, menhir, dolmen maupun situs yang dilengkapi dengan foto-foto. Sayangnya, tim peneliti lebih terkesan menduga-duga daripada memaparkan temuan-temuan. Secara jelas, kita bisa mendapatkan kegamangan dari pernyataan mereka,

Pengungkapan tentang kehidupan masa berburu dan masa meramu makanan di kabupaten Lebak, saat ini belum dapat diungkapkan secara utuh karena temuan budaya yang in situ dan satu konteks dengan manusia pendukungnya belum ditemukan (hal. 9)

Bagian kedua membahas mengenai masa kesultanan dan berdirinya kabupaten Lebak serta perkembangannya. Mengenai masa kesultanan, sebagian tulisan ini diambil dari buku Nina Lubis berjudul “Banten dalam Pergumulan Sejarah; Sultan, Ulama dan Jawara” (2004). Dalam menelusuri jejak masa kesultanan dan berdirinya kabupaten Lebak, selain memakai metode studi pustaka, tim peneliti memasukkan pula cerita-cerita tradisi/ legenda yang pada akhirnya menyurutkan nilai-nilai akademis yang dibangun. Ramuan sejarah “dinodai” dengan bahan-bahan folkor yang sungguh mengganggu. Harusnya tim peneliti bisa menempatkan batasan yang jelas antara kajian sejarah dan folklor. Pada bagian ini dikupas juga tentang “Kasus Lebak” yaitu perseteruan antara Eduard Douwes Dekker alias Multatuli dengan Bupati Lebak, Karta Nata Negara. Di dalam tulisan ini, selain mengungkapkan cerita berdasarkan referensi dari pelbagai sumber, kesalahan fatal yang dibuat tim peneliti adalah membuat semacam penghakiman, “di dalam kasus tersebut Multatuli telah salah menilai dan tidak memahami budaya politik tradisional yang berlaku” (hal. 163). Kemudian tim peneliti menggiring pembaca untuk melakukan interpretasi yang bersifat hermeneutis, “Bila seorang Bupati memiliki otoritas demikian besar pada waktu itu, kita tidak bisa melakukan judgement berdasarkan prinsip jaman sekarang yang menganggap hal itu sewenang-wenang. “ (hal. 169). Jika penelitian sejarah ditarik dalam ranah interpretasi, maka akan terlalu banyak diskusi yang tak kunjung usai. Seharusnya ranah interpretasi mengacu pada temuan fakta-fakta yang ada. Sayangnya fakta yang ditemukan oleh tim peneliti malah mengekalkan kesalahan dari Bupati Karta Nata Negara yang memakai pengerahan pancendiensten secara berlebihan (hal 179) dan dua unsur yang bertolak belakang tersebut telah mengeksiskan tim peneliti bahwa mereka tidak terlalu teliti.

Sementara pada bagian ketiga dikupas perihal dinamika kehidupan masa republik (1945-2005). Pada bagian ini tim peneliti memaparkan tentang serangkaian era kemerdekaan hingga pasca reformasi yang sebagian besar tulisan tersebut sudah kita ketahui.

Sebagai seorang pembaca, saya sangat menghargai kehadiran buku ini untuk dijadikan sebagai referensi. Selain kekurangan yang saya paparkan di atas, tentu lebih banyak kelebihan yang dituliskan dalam buku ini, sehingga masyarakat Lebak memiliki semacam peta untuk menggali diri sendiri. Namun kehadiran buku sejarah harusnya tak terlalu banyak teori beja ataupun ceunah, agar kaca spion yang kita pakai tak terlihat buram karena keretakannya.

Judul: Oh Baby
Genre: Drama musikal remaja
Sutradara: Cassandra Massardi
Produser: Dhamoo Punjabi, Manoj Punjabi
Penulis Skenario: Cassandra Massardi
Pemain: Cinta Laura Kiehl, Randy Pangalila, Ridwan Ghany, Ariel Tatum, Tio Pakusadewo, Andy Riff, Piet Burnama, Unang
Masa Putar: 90 Menit
Tanggal Rilis: Agustus 2008
MPAA Rating: PG-13 (Percintaan, adegan tak cocok untuk anak-anak)
Distributor: Md Pictures

Baby (Cinta Laura Kiehl), adalah gadis yatim piatu yang cantik, energik dan memiliki cita-cita menjadi seorang penari utnuk membiayai Opanya, yang sudah sakit-sakitan. Secara diam-diam Baby yang putus sekolah ini ikut dalam sebuah kompetisi Tari SMA, dengan memakai topeng dan identitas baru, Phantom. Penampilannya yang luar biasa membuat semua penonton dan panitia terkesima. Tapi semua bingung, siapakah Phantom yang misterius ini? Penyelenggara kompetisi, Wizard (Andy Riff) mengajukan syarat ke Baby, ia boleh ke grandfinal, dengan syarat ia harus masuk ke sekolah yang ditunjuk oleh Wizard, yaitu Pekerti Luhur, dengan semua biaya ditanggung. Pekerti luhur adalah sekolah swasta elit dengan puluhan peraturan ketat, yang dipimpin Kepsek muda super disiplin, Pak Yudo (Tio Pakusadewo). Anak laki-lakinya, Benny (Ridwan Ghany), adalah ketua PHP (Pengawas Harmoni Pendidikan), dengan tugas memastikan tidak ada seorang siswa pun yang melanggar peraturan. Zarro (Randy Pangalila), cowok paling keren di sekolah, yang juga peserta grandfinal dance competition, sangat membenci Benny. Kemunculan Baby di sekolah dengan semua kecerobohan dan kekonyolannya membuat Benny geram. Mereka berdua langsung menjadi musuh. Apakah Baby akan tertipu trik Zarro? Bisakah ia mengikuti grandfinal? Lantas, apakah Baby dan Benny akan bisa bersatu? (effendy wongso, cinema21)

nie.....SALAh...satu AnggOTA PKS yg gaya

ketua osis smkn1 rangkasbitung

my FRIeNDs In xap1

















welcome

ciluk bua met datang di dunia relQe
dunia yang penuh kata2x yang tak ber makna

cooocwet

cooocwet